Kursi lontar sendiri diciptakan untuk menyelamatkan seorang penerbang yang sudah dianggap sebagai SDM mahal. Bayangkan, untuk menjadi seorang penerbang (khususnya) tempur, mereka harus lulus seleksi dari sekian banyak pendaftar. Setelah lulus, ia pun harus melalui proses pendidikan yang panjang dan lama serta diberi kepercayaan yang amat langka menerbangkan pesawat tempur yang jumlahnya relatif terbatas.
Prosedur eject harus dilakukan dengan benar, jika tidak malah bisa meningkatkan resiko kecelakaan. Kursi lontar dilengkapi roket berkekuatan besar untuk melontarkan pilotnya keluar pesawat hanya dalam hitungan detik.
Beberapa merek kursi lontar yang terkenal adalah Aces II dan Martin Baker dengan kelebihan masing-masing.
Pada A-4 Skyhawk terdapat jenis zero-zero ejection seat yang bisa digunakan pada ketinggian dan kecepatan nol. Kursi lontar ini dapat melempar kursi berikut pilotnya sejauh 53 meter. Begitu roket pendorong aktif dengan menarik kabel loreng kuning-hitam yang terletak di antara kedua kaki, dalam waktu 0.25 detik kursi akan terlontar.
Lain lagi dengan yang digunakan F-5E Tiger II. Dengan daya dorong 700 kg, kursi jenis ini justru tak boleh diaktifkan pada kecepatan kurang dari 500 knot. Begitu kuatnya hingga pilot bisa terdorong hingga 43 meter dengan pengaruh gaya gravitasi mencapai 14G meski hanya berlangsung 0.19 detik.
‘Saya eject dalam keadaan siap. Malah sebelum terbang saya sempat memberikan briefing kepada para yunior tentang cara penggunaannya. Beberapa saat kemudian justru saya yang mengalaminya. Pesawat yang saya kemudikan (F-5) mengalami kerusakan mesin di ketinggian 3000 kaki (sekitar 1000m),’kenang Djoko Suyanto.

Jika pada F-16 terdapat kursi lontar Aces II yang bisa melontarkan pilot berikut kursinya dalam 0.25 detik dengan gaya 13G, Martin Baker hanya butuh 0.20 detik dengan gaya tarik 15G. Sepuluh penerbang TNI AU setidaknya pernah merasakan kerja Martin Baker, baik saat terbang maupun ketika masih dalam posisi di darat.
Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar